Setiap hari Mia pulang ke rumah Marla, dengan harapan Marla tak akan curiga. Tetapi tampaknya Marla mulai menyadari dengan gelagat Mia.
Marla sangat tau bahwa kekasihnya itu sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, Marla tak dingin langsung menanyakan pada Mia karena pasti dia akan menjawab dengan kebohongan. Sebab itu dirinya harus mencari tau sendiri apa yang sedang disembunyikan Mia.
Hingga suatu malam. Marla mengikuti arah mobil Mia. Dan ternyata arah villa yang pernah Marla datangi waktu itu. Marla kesal dan mengigit bibir bawahnya sampai berdarah karena ternyata Mia masih saja menemui Wandi.
"Sial! Ternyata dia bohongin aku? Dia diam-diam masih berhubungan dengan si berengsek Wandi" gerutu Marla.
"Oke Mia, kamu yang mulai semuanya. Jadi jangan salahkan aku bila aku bertindak kasar padamu sekarang." gumam Marla sinis.
***
Mia baru saja tiba di rumah. Didekatinya Marla yang sedang berbaring di sofa. Perlahan Mia duduk disisi Marla dengan mendekatkan wajah, lalu hendak mencium namun Marla menolak dengan berpaling muka.
"Kamu marah?" tanya Mia.
Marla tak menjawab. Mia gemas dengan sikap itu lalu memainkan ujung hidung Marla yang mancung.
"Kenapa baru pulang?" tanya Marla, yang sebenarnya tau jawaban Mia akan berbohong.
"Aku pulang ke rumah mamah, maaf aku lupa bilang kamu dulu. Soalnya ada acara penting yang buat aku harus datang kesana." ungkap Mia.
Sungguh akting Mia terlihat 100% baik. Namun sayangnya Marla tak bisa percaya karena telah melihat dengan mata kepalanya bahwa Mia pergi menemui Wandi dan bermalam disebuah villa.
"Apa aku bisa percaya kata-katamu?"
"Kenapa? Apa kamu ragu?"
"Entahlah, aku takut kamu masih menemui lelaki itu dibelakangku" sindir Marla.
Mia tersenyum lebar lalu berbaring disamping Marla.
"Kamu nggak usah takut, aku sudah lama tinggalkan dia. Cuma hanya aku dan kamu, nggak ada orang lain." bisik Mia, manja.
"Kenapa, kenapa kamu membohongiku seperti ini Mia? Aku senang dengan kalimatmu itu, tapi kenyataannya aku sakit saat tau kamu masih bersamanya" gumam Marla dalam hati.
Mia berusaha membahagiaan wajah Marla yang tampak kecut dilihatnya. Dia berusaha membangunkan hasrat Marla, namun ditahan lalu beranjak dari sofa.
"Kenapa?" Mia heran.
"Sebaiknya kamu mandi," saran Marla sembari berlalu pergi.
"Biasanya kamu suka, walaupun aku bau kecut sekali pun?" tanya Mia.
"Aku tak sudi bercinta denganmu, sementara tubuhmu telah dijamah pria itu semalam suntuk" dumal Marla dalam hati.
***
Mia terlihat sedang memikirkan sesuatu oleh Wandi. Keduanya sedang menikmati kopi panas disebuah cafe.
"Kamu kok keliatan ga seneng gitu?"
"Aku lagi bingung mikirin sikap Marla"
Seketika Wandi menghempaskan nafas, tanda ia sedang kesal mendengar nama itu terucap dari mulut Mia.
"Kenapa kamu harus sebut nama dia? Dan kenapa disaat kamu sedang sama aku, harus memikirkan dia?" cetus Wandi.
"Maaf sayang, aku bukan bermaksud buat kamu kesal,"
"Tapi kamu udah buat aku kesal, Mia!"
"Iya maaf, sebenernya aku lagi takut kalau suatu saat nanti, Marla tau aku masih bersama kamu" ringis Mia.
"Aku yang tanggung jawab nanti. Atau kalau perlu, kita habisi saja dia agar kita nggak rumit seperti ini" celetuk Wandi.
"Aku nggak suka kalau tangan kamu ternoda oleh darah pembunuhan" tolak Mia.
"Lalu bagaimana? Apa kita kabur jauh atau keluar negri sekalian, untuk menghilangkan jejak?" saran Wandi.
"Marla bukan orang miskin Wan, dia bisa kejar kita walau keujung dunia sekali pun." kata Mia mengingatkan.
"Terus sampai kapan kita hubungan kayak gini?"
"Sabar yah! Yang pentingkan kita masih bisa ketemu, dan yang pasti tempat rahasia kita nggak akan pernah Marla ketahui." ucap Mia menenangkan.
Yang dimaksud Mia adalah villa. Tapi sayangnya Marla sudah membeli villa itu sebagai miliknya. Dia melakukan itu agar Wandi tak lagi menyewa tempat itu untuk berduaan dengan kekasihnya. Kini villa kaca sudah jatuh ketangannya, tentu Marla bahagia walau pun ia tau bahwa bukan berarti hanya villa itu yang menjadi kunci tempat bercinta Mia dan Wandi.
Wajah Marla terpaku didalam kamar yang pernah disinggahi Mia dan Wandi. Terngiang ingatan saat melihat dengan mata kepalanya, Mia begitu menikmati dijamah oleh Wandi.
Jijik, Marla mengacak kasur yang sudah tertata rapih. Menjerit, Marla muak dengan penghianatan Mia.
"Aku, aku nggak akan tinggal diam, Mia. Aku, aku akan menjauhkanmu darinya. Aku, aku benci dengan sikapmu, Mia." ringis Marla yang akhirnya tangisan pun pecah.
"Hiks.. Hiks.. Hiks.."
***
Sudah seminggu Marla meninggalkan rumah dan Mia sendirian. Marla sengaja meninggalkan rumah agar dirinya dapat memantau gelagat Mia bila sedang ditinggalkan dirinya. Sebenarnya Marla tak yakin bila Mia menginginkan kehadirannya, mungkin justru dengan kepergiannya akan memudahkan Mia bertemu dengan Wandi, sesuka hati.
Tepat sekali. Mia dan Wandi semakin sering bertemu dan bermalam disebuah rumah sewaan baru mereka. Wandi dan Mia sempat kecewa harus kehilangan villa kaca yang jadi tempat favorit keduanya. Wandi beberapa kali membujuk si penjaga untuk memberitahukan siapa pemilik baru villa itu, agar dirinya bisa membeli dua kali lipat harga jual. Sayang, si penjaga menolak memberitahukan karena memang Marla sudah melarang siapa pun tau kalau dia lah yang membeli.
Setelah keduanya lelah bercinta. Mia terlihat sedang suntuk dan kurang baik dilihat oleh Wandi, akhirnya Wandi bertanya dengan mesra pada kekasihnya itu.
"Kamu masih kepikiran soal kepergian cewek itu?" tanya Wandi dengan membelai rambut Mia.
"Maaf yah," ringis Mia, bersalah.
"Percuma aku marah sama kamu soal itu, dilarang pun kamu akan terus memikirkan dia" cibir Wandi.
"Aku bingung kenapa dia pergi? Dan ga bilang sama aku, senggaknya dia kasih tau aku pergi kemana biar aku tenang." keluh Mia.
"Bukankah lebih baik, dia pergi. Dan lebih baik lagi, kita tak tau dimana dia. Kalau perlu, tidak usah kembali sama sekali." harap Wandi yang membuat Mia tersenyum geli melihatnya.
"Itu memang dasar mau mu!"
"Emang ga boleh? Kamu juga mau, kan?" goda Wandi sembari mengelitiki pinggul Mia.
Tentu saja Mia terpingkal-pingkal geli menahan gelitikan itu.
***
3 hari Mia tidak pulang ke rumah Marla. Sengaja, karena ingin terus bersama Wandi. Mia tak takut harus ketauan, sebab dia selalu mentelpon ke rumah Marla dan memastikan kekasih wanitanya itu sudah kembali ke rumah atau belum.
Saat sedang asik bercengkrama dengan Wandi yang baru pulang kerja. Mendadak handphonenya berdering. Awalnya Mia cuek dan terus asik bercumbu rayu dengan Wandi, tapi seketika ia menahan tubuh Wandi dengan langsung melihat panggilan masuk berkali-kali itu.
"Dari rumah Marla" ringisnya.
"Emang kenapa? Harus yah momen kayak gini terhalang sama telpon?" ketus Wandi.
"Siapa tau penting. Mungkin mau ngasih tau kalau Marla udah pulang" kata Mia.
"Terus?"
"Ya aku harus pulang!"
"Sekarang?" tanya Wandi dengan wajah kaget.
"Masa tahun depan sih" ringis Mia.
"Ya nggak sekarang juga kali Mia, kita kan belum beres, masa mau ditinggal gitu aja!" rengek Wandi.
Mia segera merapihkan diri, lalu bersiap memakai pakaiannya.
"Lain waktu masih bisa sayang, jangan kayak ga bakal ketemu lagi deh pake ngerengek gitu," saran Mia.
"Janji yah? Kalau bisa besok, gimana?" pinta Wandi manja.
Sebelum merelakan Mia pergi, Wandi seolah tak ingin melepas kepergian kekasihnya itu. Wandi terus mengeratkan pelukannya dan beberapa kali menciumi Mia, penuh cinta.
"Kapan aku pergi kalau kamu kayak gini terus?" heran Mia.
"Janji kamu temuin aku?"
"Iya sayang! Baik-baik di rumah, jangan sampe masukin wanita lain di surga kita ini." kata Mia mewanti-wanti.
"Tidak akan ada selain kamu, Mia!" bisik Wandi mesra lalu melayangkan kecupan di pipinya.
Wandi melihat kepergian mobil Mia. Entah mengapa hatinya merasa resah ditinggal pergi kekasihnya itu. Tidak biasanya Wandi merasakan hal aneh ini, karena tiap melihat kepergian Mia tidak ada ragu atau kehilangan sekali pun.
"Semoga wanita gila itu tidak menyakitimu, Mia" gumam Wandi dalam hati.
***
Mia sedang was-was. Sebelum masuk kedalam kamar, beberapa kali ia menarik nafas dalam agar akting kebohongan yang akan dimainkan terlihat sempurna oleh Marla.
Perlahan Mia membuka pintu dengan niatan menyapa riang kedatangan Marla kembali ke rumah. Tapi seketika Mia tertegun melihat beberapa koper dihadapannya.
"Kamu dari mana sayang? Kok pergi jalan-jalan nggak bilang aku? Harusnya kamu ajak aku, kalau sampai belanja barang sebanyak ini." protes Mia, seraya mendekati Marla yang diam tak menjawab.
"Kenapa nggak mencium kekasihmu ini?" tegur Mia sedikit menggoda.
Mia mendusel manja ke tubuhnya. Namun tetap, Marla cuek seolah tak berhasrat untuk menyentuh Mia sekali pun. Mia heran lalu mengarahkan pandangan Marla sehingga dapat menatap dua bola matanya.
"Apa kamu ga merindukanku?" selidik Mia, "Sudah hampir 2 minggu kamu meninggalkanku, masa mencium atau memeluku saja nggak mau?" herannya, "Atau jangan-jangan kamu pergi bersama kekasih lain?" duga Mia.
Kali ini Marla merespon ucapannya itu dengan tatapan bengis.
"Memangnya aku itu kamu, jangan samakan aku denganmu Mia, cinta aku tulus buat kamu jadi mana ada wanita lain yang aku ajak pergi selain dirimu." cetus Marla.
"Baiklah, aku percaya. Lalu, apa yang buat kamu pergi tanpa bilang aku? Dan nggak pernah jawab panggilanku?" protes Mia.
"Apa perlu?" tanya Marla dingin.
"Menurutmu?" Mia balik bertanya.
"Apa mungkin kamu perduli aku pergi kemana? Sepertinya kamu terlihat senang aku ga di rumah, karena bisa pergi bebas kemana pun kamu suka, kan?" sindir Marla.
Mia mengigit bibir karena merasa tersindir olehnya.
"Aku pergi juga karena kamu nggak di rumah, itu pun kembali ke rumah orang tuaku!" ucap Mia.
"Yakin?"
"Kamu masih nggak percaya? Ya udah kalau kamu kayak gini terus, kenapa kamu pertahanin hubungan kita?" pekik Mia yang berharap Marla terpancing sehingga emosinya meluap, lalu memutuskan hubungan mereka.
Agar semakin meyakinkan, Mia beranjak berdiri dengan niatan akan pergi namun seketika Marla menahan lengannya.
"Harusnya kamu tau, aku, pertahankan hubungan kita. Karena aku sangat mencintaimu dan ga ingin melepaskanmu, sedikit pun, Mia." tutur Marla lirih.
Dalam hati Mia bergumam,"Aku tau itu Marla, tapi kita itu sama dan nggak layak untuk bersama."
Marla mulai memeluk Mia dari belakang. Sangat erat, Mia merasakan tetesan airmata Marla mulai membasahi pundaknya.
"Tetapi kamu dengan mudah berpaling hati dengan pria itu"
"Aku kan sudah bilang, nggak lagi berhubungan dengan dia. Jadi, luapkan soal itu." pinta Mia.
Marla muak, dengan kebohongan Mia. Akhirnya ia membongkar semua permainan cantik Mia, dibelakangnya.
"Cukup Mia! Kenapa kamu masih bersikeras meyakinkan aku, seolah kamu tidak berhubungan lagi dengannya?" pekik Marla.
"Karena memang nggak, Marla." tegas Mia.
Marla menatap tajam bolamatanya.
"Cih! Kamu pikir, selama ini aku nggak tau perselingkuhan kamu? Kamu pikir, aku pergi selama 2 minggu ini ga pernah tau soal rumah singgah percintaan kalian, hah?" gertak Marla
Mia menelan ludah, seketika tubuhnya bergetar mendengar pengakuan Marla.
"Ke, kenapa bisa?" tanya Mia gugup.
Marla tersenyum sinis melihat perubahan sikap Mia yang sedang ketakutan.
"Kamu bahkan lupa sama semua janji yang aku kasih tau ke kamu. Oke, aku akan ingatkan kamu lagi janji awal kita memutuskan bersama,"
Seketika Mia menahan Marla untuk mengingatnya.
"Jangan! Aku mohon jangan ingatkan itu lagi Marla, karena aku, aku nggak ingin mengingatnya, aku, aku sudah benar-benar ga ingin bersamamu lagi." tolak Mia, "Aku mohon Marla, biarkan aku bahagia dengan Wandi!" pinta Mia dengan sangat.
Beberapa kali Mia membujuk Marla, meminta untuk membiarkannya pergi dari kehidupan gelap. Marla yang sejak tadi diam akhirnya membuka suara, dengan ucapan yang sangat mengagetkan Mia tentunya.
"Pergilah!" lirih Marla.
Mia berlinang airmata terharu. Sontak dirinya langsung memeluk Marla dengan sangat bahagia.
"Makasih Marla, makasih sudah mau melepaskan diriku untuk Wandi." ucap Mia antusias.
Mia perlahan melepaskan pelukan darinya, lalu menatap bola mata Marla lekat dengan memegang kedua tangannya.
"Semoga kamu dapatkan kekasih yang lebih mencintai kamu dibandingkan aku, Marla!" harap Mia yang berlalu meninggalkannya.
Marla terdiam kaku. Sebenarnya ia tak ingin mengatakan kalimat itu namun melihat usaha Mia yang terus memohon akhirnya dengan berat hati Marla menyetujui.
Tak terasa butiran air matanya kembali mengalir deras setelah tubuh Mia tidak lagi dihadapannya, atau bahkan selamanya ia tak akan melihat Mia setelah bersama Wandi.
"Apakah ini keputusan yang benar?" ringisnya.
Marla melihat beberapa koper yang telah disiapkan untuk dibawa pergi bersama Mia. Seketika hatinya menolak merelakan Mia pergi, sehingga dengan cepat Marla berlari mengejar Mia yang sudah berada di lantai bawah.
Derap langkah Marla terdengar oleh Mia yang menoleh kerahnya. Mia tau bahwa Marla akan menahan kembali untuk pergi, karena dia tau sifat ngeyel Marla. Sebab itu lah Mia makin mempercepat langkah keluar dari rumahnya. Tapi sayang, langkah Marla begitu cepat dan langsung menahan tangan Mia erat.
"Ke, kenapa kamu?" tanya Mia gugup.
"Kamu pikir aku akan merelakanmu dengannya, hah?" pekik Marla.
"Bukannya tadi?"
"Cukup Mia, aku muak, jangan buat dirimu menyesal karena terus memintaku melepaskanmu." gertak Marla.
"Aku mohon, Marla!" Mia memelas.
"Enggak bisa, aku sudah menyiapkan baju kita, lalu pergi menjauh dari sini"
"Menjauh?"
"Yah! Dari Wandi, tepatnya." tegas Marla.
"Nggak Marla, jangan pisahkan kami. Aku sangat mencintai dia, aku mohon jangan." pinta Mia.
Marla tidak perduli, ia menarik tangan Mia walau pun beberapa kali menghardik dan berusaha untuk melepas. Akhirnya Mia mengigit tangan Marla kencang sehingga terlepas dan mencoba kabur.
Langkah Mia terhenti saat terasa sesuatu menghantam kekepalanya dengan sangat keras.
"Bugh"
Mia pun seketika ambruk diatas lantai. Marla yang sedang beramarah tidak sadar melakukan hal itu, kini dirinya langsung menjatuhkan pemukul ke lantai dan mendekap tubuh Mia.
"Mia, Mia bangun Mia,"
"Mia, aku minta maaf, aku nggak sengaja melakukannya,"
"Aku mohon Mia, buka matamu Mia,"
"Mia, Mia jangan tinggalin aku Mia,"
"Aku mohon Mia, bangun, bangun Mia,"
"Miaaaaaaaaaaaaaaa" teriak Marla kencang sembari mendekap tubuhnya dengan sangat erat.
To be continue..